Investasi reksadana untuk pemula bisa jadi pilihan tepat jika kamu ingin mulai mengembangkan uang tanpa ribet. Produk ini memungkinkan kamu berinvestasi di berbagai instrumen seperti saham, obligasi, atau pasar uang, dikelola oleh manajer investasi profesional. Cocok buat yang masih belajar, karena modalnya fleksibel dan risikonya bisa disesuaikan. Dengan diversifikasi yang baik, peluang dapat imbal hasil stabil lebih besar. Selain itu, kamu enggak perlu pusing pantau pasar setiap hari. Yuk, cari tahu lebih dalam soal mekanisme, kelebihan, dan strategi memulai investasi reksadana biar uangmu makin produktif!
Baca Juga: Pentingnya Branding Bisnis dan Identitas Merek
Apa Itu Reksadana dan Bagaimana Cara Kerjanya
Reksadana adalah wadah investasi yang mengumpulkan dana dari banyak investor untuk kemudian dikelola oleh Manajer Investasi (MI) ke dalam berbagai aset seperti saham, obligasi, atau instrumen pasar uang. Mirip seperti patungan, uang dari banyak orang dipakai beli portofolio yang diversifikasi, jadi risiko lebih terkendali. Kamu enggak perlu mikirin beli saham atau obligasi satu per satu—tim profesional yang ngurusin segalanya.
Begini cara kerjanya:
- Kamu beli unit penyertaan reksadana (semacam kepemilikan) di produk pilihan, bisa lewat bank, platform investasi (Bareksa, Bibit), atau agen resmi.
- Dana kamu digabung dengan dana investor lain, lalu Manajer Investasi alokasikan ke aset sesuai tujuan reksadana itu. Misal: reksadana saham bakal dominan beli saham, reksadana pendapatan tetap fokus ke obligasi.
- Nilai aktiva bersih (NAB) per unit akan naik/turun tergantung kinerja instrumen yang dibeli. Keuntungan bisa datang dari kenaikan NAB atau bagi hasil (dividen/bunga).
Yang bikin praktis:
- Modal mulai Rp10.000–Rp100.000 aja udah bisa ikutan.
- Likuiditas cukup fleksibel—bisa dijual (dicairkan) kapan saja, tergantung jenis reksadananya.
- Ada laporan rutin jadi kamu bisa track perkembangan investasi.
Contoh sederhana: Kalau reksadana itu seperti catering, kamu enggak perlu masak sendiri (analisis saham), tapi tetap bisa makan enak (dapet return). Pahami dulu profil risiko dan pastikan MI-nya diawasi OJK (cek di sini).
Baca Juga: Investasi Emas Digital Melalui Platform Online
Jenis-Jenis Reksadana yang Cocok untuk Pemula
Sebagai pemula, pilih jenis reksadana yang risikonya lebih terkendali tapi tetap berpeluang hasil stabil. Berikut 4 jenis yang paling cocok:
- Reksadana Pasar Uang Investasi di instrumen short-term (<1 tahun) seperti deposito, SBN, atau surat berharga bank. Risiko sangat rendah, cocok buat dana darurat atau tujuan jangka pendek (1–2 tahun). Return-nya kecil (~4–6% per tahun), tapi lebih tinggi dari tabungan umum. Contoh produk: Schroder Dana Kas Maxima.
- Reksadana Pendapatan Tetap Dominan berisi obligasi korporasi/government bonds (minimal 80%). Risiko rendah-sedang, cocok untuk jangka menengah (3–5 tahun). Imbal hasil biasanya 6–9% per tahun. Ideal buat yang ogah ribet tapi mau lebih agresif sedikit ketimbang pasar uang. Cek daftar reksadana obligasi di Bareksa.
- Reksadana Campuran Gabungan saham (max 79%) dan obligasi/pasar uang. Risiko moderat dengan potensi return lebih tinggi (~8–12% per tahun). Cocok buat pemula yang mau eksposur ke saham tapi dengan diversifikasi. Contoh: BNP Paribas Sustainable Balanced Fund.
- Reksadana Index Mirip reksadana saham, tapi portfolionya meniru indeks (misal: IHSG, LQ45). Biayanya murah (fee rendah) karena dikelola pasif. Return mengikuti pasar, cocok buat investasi jangka panjang (>5 tahun). Pelajari lebih lanjut di Indeks Box.
Tips Pilih:
- Mulai dari yang risiko rendah (pasar uang/pendapatan tetap), baru naik ke campuran/index setelah paham.
- Bandingkan kinerja historis dan manajer investasinya di situs OJK.
- Jangan tergiur return tinggi, sesuaikan dengan tujuan finansial dan toleransi risiko.
Baca Juga: Pentingnya Pelatihan Soft Skill di Dunia Kerja
Keuntungan Investasi Reksadana Jangka Panjang
Investasi reksadana dalam jangka panjang (5–10+ tahun) punya beberapa keunggulan yang bikin asetmu berkembang lebih optimal. Berikut manfaat utamanya:
- Daya Ungkit Bunga Majemuk (Compounding Effect) Keuntungan yang didapat di tahun pertama akan bekerja lagi di tahun berikutnya, terus berlipat seperti bola salju. Contoh: Investasi awal Rp10 juta dengan return rata-rata 10% per tahun bisa jadi Rp25,9 juta dalam 10 tahun (hitung sendiri pakai kalkulator compounding).
- Risiko Lebih Stabil Volatilitas pasar jangka pendek (seperti gejolak saham) bisa diimbangi dengan waktu. Misal, reksadana saham mungkin turun tahun ini, tapi secara historis cenderung pulih dan tumbuh dalam 5+ tahun (lihat data IHSG 10 tahun terakhir).
- Biaya Lebih Murah Reksadana pasif (seperti index fund) atau yang berbasis obligasi punya biaya pengelolaan (management fee) rendah, biasanya 0.5–1.5% per tahun. Cocok buat yang ingin "setor terus & lupa" tanpa khawatir biaya menggerus return.
- Fleksibilitas dan Diversifikasi Otomatis Gak perlu pusing pilih saham sendiri—Manajer Investasi yang rebalance portofolio secara berkala. Kalo ada instrumen baru yang menarik (misal: green bonds), langsung bisa dimasukkan ke dalam reksadana tanpa kamu harus beli manual.
- Proteksi Inflasi Return reksadana (terutama campuran/saham) biasanya mengalahkan inflasi dalam jangka panjang. Data OJK mencatat rata-rata reksadana saham tumbuh 12–15% per tahun dalam 10 tahun terakhir, sementara inflasi Indonesia ~3%.
Contoh Nyata: Investor yang konsisten masukin Rp1 juta/bulan ke reksadana index (return 12% per tahun) bisa punya Rp230 juta dalam 10 tahun. Nggak buruk untuk modal awal yang kecil, kan?
Catatan: Pastikan pilih reksadana dengan track record stabil dan Manajer Investasi berizin OJK (cek di sini). Semakin panjang waktumu, semakin besar efek "modal bekerja untukmu".
Baca Juga: Strategi Tepat untuk Penggunaan Listrik yang Efisien
Tips Memilih Reksadana untuk Investor Pemula
Buat yang baru mulai, pilih reksadana itu kayak beli sepatu: harus nyaman dan sesuai kebutuhan. Berikut tips praktis dari sudut pandang Manajer Investasi:
1. Kenali Profil Risiko Dulu
- Low risk: Pasar uang/pendapatan tetap (cocok buat dana darurat/tujuan 1–3 tahun).
- Moderate risk: Campuran/index (untuk nabung pendidikan/kendaraan dalam 5 tahun).
- High risk: Saham (kalau siap hadapi fluktuasi untuk target 10+ tahun). Tes risiko dulu di tools seperti Bareksa Risk Profiler.
2. Cek Track Record Minimal 3 Tahun
Jangan tergiur return 20% bulan lalu! Lihat konsistensi kinerja:
- Bandingkan selama periode pasar turun (misal: pandemi 2020) dan naik.
- Cari yang selalu outperform indeks pembanding (benchmark). Data historisnya bisa dicek di Infovesta.
3. Perhatikan Biaya Tersembunyi
- Management fee: Idealnya di bawah 1.5% untuk reksadana pasif, maks 2% untuk aktif.
- Buy/sell fee: Beberapa platform seperti Bibit nol-rupiah buat pembelian.
4. Pilih Manajer Investasi Berpengalaman
- Cari yang umurnya minimal 5 tahun dan terdaftar di OJK (daftar resmi). Contoh: Schroders, Mandiri Manajemen Investasi.
- Cek portofolio mereka—apakah diversifikasi atau terlalu fokus ke satu sektor?
5. Mulai dengan Sistem DCA (Dollar-Cost Averaging)
Investasi rutin tiap bulan (misal: Rp500rb) di reksadana index/campuran. Cara ini mengurangi risiko beli di harga mahal sekaligus.
Contoh Kombinasi Aman Pemula:
- 50% di reksadana pendapatan tetap (stabil).
- 30% di reksadana index (ambil untung pasar).
- 20% di pasar uang (buat likuiditas).
Pro tip: Jangan taruh semua uang di 1 reksadana, sekalipun itu "rekomendasi temen". Diversifikasi selalu jadi kunci!
Baca Juga: Cara Menyimpan Kamera Agar Tetap Awet
Risiko Investasi Reksadana yang Perlu Diketahui
Reksadana bukan investasi "anti rugi". Meski dikelola profesional, berikut risiko yang harus kamu waspadai sebelum masuk:
1. Risiko Pasar (Market Risk)
Harga saham/obligasi dalam portofolio bisa anjlok karena faktor eksternal—seperti krisis ekonomi, kenaikan suku bunga (cek dampaknya di sini), atau gejolak politik. Contoh: Saat pandemi 2020, reksadana saham banyak yang turun 20–30% dalam sebulan.
2. Risiko Likuiditas
Beberapa reksadana (terutama produk tertutup atau property fund) sulit dicairkan cepat. Meski mayoritas reksadana terbuka bisa dijual kapan saja, proses pencairan bisa makan 1–5 hari kerja.
3. Risiko Kredit (Default Risk)
Khusus reksadana obligasi, ada kemungkinan emiten (perusahaan/pemerintah) gagal bayar kupon/pokok utang. Untuk mitigasi, cek apakah MI-memilih obligasi berperingkat minimal BBB (lihat daftar rating di PEFINDO).
4. Risiko Manajer Investasi
- Underperformance: MI-nya kalah dari benchmark terus-menerus (cek perbandingannya di Infovesta).
- Fraud: Jarang terjadi, tapi selalu pastikan MI terdaftar di OJK (verifikasi di sini).
5. Risiko Nilai Tukar (Untuk Reksadana Global)
Kalau beli reksadana yang berinvestasi di luar negeri (misal: S&P 500), fluktuasi kurs USD/IDR bisa makan returnmu.
Yang Bisa Kamu Lakukan:
- Diversifikasi: Jangan taruh semua dana di 1 jenis reksadana.
- Risk-adjusted return: Hitung apakah return sebanding dengan volatilitasnya (pakai Sharpe Ratio).
- Jangan panic sell: Kalo portofolio turun, evaluasi dulu—kecuali ada perubahan fundamental (misal: MI kena OJK).
Real talk: Risiko terbesar justru ketika kamu investasi tanpa paham produknya. Selalu baca prospektus sebelum setor uang!
Baca Juga: Solar Panel vs Listrik Konvensional Analisis Biaya
Perbandingan Reksadana dengan Investasi Lain
Mau tahu kenapa reksadana sering jadi pilihan utama pemula? Bandingin aja langsung dengan instrumen lain:
1. vs Deposito
- Reksadana: Return lebih tinggi (5–15% tergantung jenis), bisa cair kapan saja (kecuali produk tertutup), tapi ada risiko turun.
- Deposito: Return tetap (~4–6%), dijamin LPS (sampai Rp2M), tapi uang "dikunci" 1–12 bulan. Yang menang: Reksadana untuk jangka panjang, deposito buat dana aman jangka pendek.
2. vs Saham Langsung
- Reksadana: Diversifikasi otomatis, dikelola profesional, modal mulai Rp10rb. Return tergantung MI.
- Saham: Potensi untung besar (atau rugi besar), butuh analisis harian, minimal beli 1 lot (~Rp500rb untuk saham blue chip). Yang menang: Pemula lebih aman pakai reksadana saham dulu. Mau aktif trading? Coba simulasi saham dulu.
3. vs Emas
- Reksadana: Likuid (cair dalam hari), ada dividen/bunga, bisa otomatis lewat auto-debit.
- Emas: Fisik butuh tempat aman, harganya cenderung naik pelan (~7% per tahun), cair instan tapi kena spread beli/jual. Yang menang: Reksadana untuk growth, emas buat lindung nilai (lihat pergerakan harga emas).
4. vs Properti
- Reksadana: Modal kecil, cair cepat, enggak ada biaya perawatan.
- Properti: Butuh modal gede (DP 20–30%), ada biaya pajak/perawatan, tapi bisa dapat passive income dari sewa. Yang menang: Reksadana lebih feasible buat yang modal terbatas.
5. vs Crypto
- Reksadana: Regulasi jelas (diawasi OJK), volatilitas terkendali.
- Crypto: Fluktuasi gila-gilaan (bisa +/- 50% sebulan), belum ada payung hukum kuat di Indonesia. Yang menang: Reksadana jelas lebih aman. Mau crypto? Siapkan mental kayak naik rollercoaster.
Kesimpulan: Reksadana itu sweet spot antara risiko, return, dan kemudahan. Cocok buat yang mau investasi serius tapi enggak mau repot pantau pasar tiap jam. Paling bagus sih kombinasikan dengan instrumen lain—misal 60% reksadana, 20% emas, 20% deposito.
Data penting: Cek perbandingan return historisnya di Bareksa Comparison Tool.
Baca Juga: Instalasi Panel Surya dan Biaya Pemasangannya
Cara Mulai Investasi Reksadana dengan Modal Kecil
Modal minim bukan halangan buat mulai investasi reksadana—yang penting strategi tepat. Ini langkah konkretnya:
1. Pilih Platform yang Support Investasi Mikro
- E-Money: Bibit, Bareksa, atau Ajaib bisa mulai dengan Rp10.000–Rp100.000. Bahkan ada fitur round-up (misal: belanja Rp47.000, sisa Rp3.000 otomatis masuk reksadana).
- Bank Digital: BCA Mobile/DigiBank punya reksadana pasar uang dari Rp100.000. Pro tip: Bandingkan fee-nya di sini.
2. Gunakan Strategis Dollar-Cost Averaging (DCA)
Setor rutin tiap bulan meski kecil (misal: Rp50.000). Contoh:
- Bulan 1: Beli reksadana saat NAB Rp1.000/unit.
- Bulan 2: NAB turun jadi Rp950 – dana sama dapat unit lebih banyak. Dengan DCA, kamu rata-rata beli di harga "sedang" tanpa perlu timing pasar.
3. Fokus ke Reksadana Pasar Uang/Dana Indeks Dulu
- Pasar uang: Cocok buat nabung <1 tahun, risiko minimal (contoh: Batavia Dana Kas Maxima).
- Indeks: Biaya rendah (fee 0.5–1%), cukup setor sekali lalu hold. Coba Sucorinvest Sharia IHSG 25.
4. Manfaatkan Fitur Auto-Invest
Platform seperti Bibit atau Pluang bisa auto-debit dari e-wallet/Gopay tiap minggu/bulan. Jadi gak perlu ingat manual.
5. Reinvest Keuntungan Otomatis
Aktifkan opsi auto-reinvestment biar dividen/bunga dari reksadana langsung dibelikan unit baru. Efek compounding bakal kerja lebih cepat.
Contoh Nyata:
- Modal Rp100.000/bulan di reksadana campuran (return 10%/tahun).
- Dalam 5 tahun jadi ~Rp8 juta, dalam 10 tahun ~Rp21 juta (hitung pakai ini).
Warning: Jangan sampe biaya administrasi/minimum saldo makan modalmu. Pilih yang bebas biaya penutupan dan tanpa pajak untuk jual-belI di bawah Rp7 miliar.
Next Step:
- Cek reksadana rekomendasi OJK di sini.
- Mulai hari ini juga—makin cepat setor, makin cepat compounding bekerja!

Investasi reksadana itu kayak paket lengkap buat pemula: modal kecil, dikelola profesional, dan fleksibel. Keuntungan reksadana yang utama? Kamu bisa dapet imbal hasil stabil tanpa perlu jago analisis saham atau obligasi. Mulai dari Rp10.000 aja udah bisa ikutan, tinggal pilih jenis yang sesuai profil risiko—pasar uang buat yang aman, atau campuran/saham buat target jangka panjang. Yang penting, konsisten setor rutin dan sabar biar compounding effect bekerja. Udah gitu, diversifikasi portofolio biar risiko tersebar. Gak perlu ribet, yang penting mulai sekarang!